![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Kadang-kadang, hidup ini lucu. Kita bisa bertemu sebuah roti bundar, dijepit telor, ditusuk tomat, diguyur saus, lalu diberi label sakral: “bergizi.” Padahal, di tanah kelahirannya, roti bundar itu justru dianggap bagian dari peradaban makanan cepat saji—junk food, kata mereka. Saya jadi teringat bagaimana bahasa bisa berubah makna sesuai dengan siapa yang memakainya. Sesuatu yang di satu tempat disebut “sampah,” di tempat lain bisa naik pangkat jadi “menu sehat untuk murid-murid bangsa.”
Saya tidak sedang ingin menyalahkan burger, karena toh telor, tomat, dan roti memang punya kandungan gizi. Tapi yang bikin saya nyengir adalah ketika kita begitu gampang menyalin bentuk tanpa menyelami ruhnya. Burger bukan sekadar soal roti dan telor, melainkan soal budaya hidup serba instan, makan tergesa, lalu kenyang sesaat. Bukankah pendidikan justru mengajarkan kita tentang kesabaran, tentang proses, tentang duduk tenang menikmati nasi dengan sayur lodeh atau ikan pindang?
Menurut saya, anehnya bukan pada burgernya. Aneh itu ketika sebuah program yang diniatkan untuk mendidik generasi sehat justru membenamkan mereka dalam simbol-simbol budaya instan. Kita berteriak soal kedaulatan pangan, tetapi tangan kita justru membelai produk impor budaya makan cepat. Anak-anak kita perlu tahu tempe, singkong, ikan, sayur rebus—bukan sekadar karena bergizi, tetapi karena itu jati diri dapur kita.
Menurut kata hati saya, boleh saja burger masuk daftar menu, asal jangan lupa esensi “bergizi” itu bukan soal trendi, tapi soal menyehatkan jasmani dan rohani. Kalau mau lebih keren, bayangkan burger khas Nusantara: roti diganti lempeng singkong, mayones diganti sambal ulek, isiannya sayur kangkung plus tempe mendoan. Nah, itu baru “MBG”—Makanan Bergizi Gokil.
Saya teringat dawuh guru-guru dulu, bahwa gizi itu bukan hanya protein dan vitamin, tetapi juga ruh dari cara makan. Makan sambil syukur, makan sambil tenang, makan sambil mengingat asal makanan dari sawah dan ladang. Kalau burger masuk sekolah tanpa membawa kesadaran itu, ia hanya sekadar jiplakan yang kehilangan jiwa.
Maka marilah kita tersenyum saja, sambil tetap kritis. Biarlah burger itu lewat di piring-piring kantin, tapi kita jangan lupa memeluk kembali nasi, sayur, tempe, dan ikan. Karena bangsa yang ingin berdiri tegak bukan hanya butuh gizi tubuh, tapi juga gizi budaya. Kalau tidak, anak-anak kita bisa sehat badannya, tapi kurus jiwanya (***)