Notification

×

Iklan

Iklan

Kurikulum di Persimpangan: Antara Kepentingan Politik dan Masa Depan Pendidikan

Senin, 22 September 2025 | 11.09 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-22T04:09:20Z


Banyuasin Pos – Kurikulum sejatinya adalah jantung pendidikan. Dari sinilah arah pembelajaran ditentukan, potensi anak-anak bangsa dibentuk, dan masa depan negeri dipertaruhkan. Namun, di Indonesia, kurikulum kerap menjadi “arena perebutan” antara kebutuhan dunia pendidikan dan kepentingan politik.


Setiap kali kursi menteri berganti, tak jarang kebijakan kurikulum ikut berubah. Seolah ada keharusan bagi setiap pemimpin baru untuk meninggalkan jejak melalui revisi besar-besaran. Akibatnya, guru dan siswa harus kembali beradaptasi, meski baru saja terbiasa dengan aturan lama. Ketidakpastian semacam ini sering menimbulkan kebingungan di ruang kelas dan mengurangi konsistensi pembelajaran.


Padahal, kurikulum tidak boleh hanya jadi simbol politik. Guru yang setiap hari berhadapan langsung dengan siswa, misalnya, jarang dilibatkan dalam perumusan. Tidak heran, banyak kurikulum yang akhirnya terasa kaku, sulit diterapkan, dan jauh dari realitas kelas.


Sementara itu, dunia terus berubah. Teknologi berkembang pesat, iklim global menghadirkan tantangan baru, dan dunia kerja menuntut keterampilan yang berbeda dari masa lalu. Kurikulum seharusnya bisa menjawab perubahan itu, bukan justru terseret arus kepentingan sesaat.


Lebih jauh, perubahan kurikulum juga menuntut biaya besar—mulai dari cetak buku baru, pelatihan guru, hingga sosialisasi kebijakan. Ironisnya, di banyak daerah terpencil, sekolah masih kekurangan fasilitas dasar.


Sejatinya, pendidikan bukanlah tentang angka statistik atau slogan politik. Pendidikan adalah tentang menyiapkan generasi yang cerdas, kritis, dan berkarakter. Karena itu, reformasi dalam penyusunan kurikulum menjadi kebutuhan mendesak. Transparansi, partisipasi guru, akademisi, dan masyarakat harus diperkuat agar kebijakan yang lahir benar-benar membumi.


Yang paling penting, kebijakan kurikulum harus berjangka panjang, tidak mudah goyah oleh pergantian rezim. Stabilitas menjadi kunci agar sistem pendidikan berjalan konsisten dan berkesinambungan. Evaluasi kurikulum juga sebaiknya berbasis data nyata di lapangan, bukan sekadar laporan administratif.


Teknologi bisa menjadi jembatan penting. Dengan dukungan infrastruktur digital yang merata, kurikulum bisa lebih fleksibel, pembelajaran lebih personal, dan akses pendidikan lebih luas. Namun, sekali lagi, semua itu hanya bisa terwujud jika ada komitmen bersama dari pemerintah, pendidik, hingga masyarakat.


Kurikulum memang tidak akan pernah sepenuhnya steril dari politik. Tetapi, politik bisa diarahkan untuk mendukung pendidikan, bukan sebaliknya. Jika pendidikan ditempatkan sebagai investasi jangka panjang, maka kurikulum akan menjadi alat penting dalam mencetak generasi yang tangguh dan siap menghadapi tantangan zaman (***) 

×
Berita Terbaru Update