![]() |
Muhammad Mardiono (foto RMOL/FAISAL A) |
Ketua Bidang Hukum DPP PPP, Andi Surya Wijaya, menegaskan bahwa mekanisme aklamasi yang mengantarkan Mardiono ke kursi ketua umum tidak menyalahi aturan. “Kepanitian SC dan OC dibentuk oleh DPP, mereka hanya pelaksana. Syarat pencalonan juga sudah jelas, hanya Mardiono yang memenuhi ketentuan,” ujarnya di Jakarta, Senin (29/9).
Menurut Andi, AD/ART memang memberi ruang demokrasi bagi siapa saja yang ingin maju sebagai calon ketua umum, asalkan pernah menjadi pengurus harian DPP atau menjabat minimal satu periode di struktur pusat. “Namun pada muktamar kali ini, tidak ada nama lain yang sesuai persyaratan,” tambahnya.
Ia pun menepis anggapan bahwa pemilihan berlangsung terburu-buru. Meski jadwal sempat dimajukan dari rencana awal, Andi menilai keputusan tersebut tetap sah. “Situasinya memang tidak memungkinkan untuk menunggu lebih lama. Karena itu dipercepat, dan keputusan tetap sah,” tegasnya.
Momen aklamasi Mardiono sendiri diumumkan langsung oleh pimpinan sidang, Amir Uskara. Para peserta muktamar menyambutnya dengan tepuk tangan, meski di luar forum kabar lain berembus: Agus Suparmanto juga mengklaim mendapat mandat aklamasi dari kelompok pendukungnya.
Bagi sebagian kader, kondisi ini tentu menimbulkan kebingungan. Di satu sisi ada keputusan resmi muktamar yang menempatkan Mardiono sebagai ketua umum. Di sisi lain, ada klaim tandingan yang berpotensi menyeret PPP kembali pada pusaran dualisme kepemimpinan seperti yang pernah dialami beberapa tahun lalu.
Andi Surya menegaskan, semua pihak perlu melihat aturan dasar partai. “Kalau kita bicara legalitas, aklamasi Mardiono sah secara hukum dan sesuai AD/ART. Itu yang harus jadi pegangan,” ucapnya.
Meski demikian, suara kader di daerah tetap menunggu arah jelas dari pusat. Beberapa menyebutkan bahwa perselisihan hanya akan melemahkan konsolidasi partai, apalagi menjelang tahun politik yang penuh tantangan.
Mardiono sendiri, dalam pernyataannya usai terpilih, mengajak seluruh kader untuk meninggalkan perpecahan dan fokus pada kerja-kerja nyata partai. Ia menekankan pentingnya transformasi PPP agar kembali relevan di tengah masyarakat.
Di sisi lain, kubu Agus Suparmanto masih bersikeras dengan klaim bahwa dirinya juga dipilih secara aklamasi. Situasi ini membuat publik bertanya-tanya: apakah PPP benar-benar sudah menemukan pemimpin barunya, atau justru akan terjebak lagi dalam konflik internal yang melelahkan?
Bagi warga, yang paling diharapkan dari partai politik adalah hadirnya pemimpin yang bisa menyalurkan aspirasi, bukan menyuguhkan drama berkepanjangan. Sejauh ini, bola ada di tangan elite PPP: apakah mereka akan merawat persatuan atau kembali membiarkan perpecahan menjadi wajah partai (***)