Notification

×

Iklan

Iklan

Royalti dan Kesejahteraan Musisi

Senin, 04 Agustus 2025 | 13.12.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-04T06:16:18Z
Ilustrasi 

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 
Pimred Banyuasin Pos


Belakangan ini, jagat media sosial kembali digoyang oleh perdebatan klasik: royalti lagu. Isunya simpel tapi berdampak luas. Musisi kafe dan penyanyi-penyanyi malam mengeluhkan bahwa menyanyikan lagu Indonesia makin bikin deg-degan, bukan karena nadanya tinggi, tapi karena tagihannya tinggi. Mereka bilang, bayarannya nyanyi semalam cuma cukup buat bayar bensin dan kopi, tapi tidak cukup untuk setor royalti ke Lembaga Manajemen Kolektif.


Di satu sisi, kita paham. Ada idealisme di sana. Musisi dan pencipta lagu butuh dihargai, bukan cuma dengan tepuk tangan atau komentar “bagus lagunya,” tapi dengan uang tunai yang nyata. Hak kekayaan intelektual bukan hal remeh. Lagu bukan daun jatuh dari langit. Itu kerja keras, perasaan, dan kreativitas. Tapi di sisi lain, penyanyi kafe juga butuh makan. Masa nyanyi lagu sendiri malah rugi?


Yang menarik, banyak yang lupa bahwa sebenarnya yang wajib bayar royalti bukan si penyanyi, melainkan pihak penyelenggara: kafe, hotel, event organizer, bahkan salon yang mutar lagu sambil cuci rambut. Tapi karena informasi ini tak tersosialisasi dengan baik, akhirnya jadi debat kusir di media sosial. Yang satu bilang, “kok pelit sih bayar royalti,” yang lain jawab, “kok gak ngerti kondisi lapangan?”


Bahkan muncul suara-suara sumbang yang bilang, “Muterin lagu itu kan promosi gratis.” Ini argumen lama yang seperti lagu lama diputar ulang. Benar bahwa eksposur penting, tapi kalau semua musisi hanya dapat “promosi,” lalu siapa yang bayar listrik di studio rekaman? Promo itu bagus, tapi bukan berarti jadi pembenaran untuk tak membayar karya orang.


Yang lebih memprihatinkan, kalau tren ini terus berlanjut, bisa-bisa musisi Indonesia sendiri akan disabotase oleh sistem yang awalnya ingin mereka lindungi. Orang akan lebih memilih nyanyi lagu Barat karena tak ada yang ribet soal izin. Lagu-lagu Indonesia bisa kehilangan rumahnya sendiri. Ironis bukan, kalau kafe di Jakarta lebih banyak mutar Coldplay ketimbang Chrisye?


Maka mungkin ini saatnya kita berpikir ulang. Bukan soal siapa yang salah, tapi bagaimana sistem ini bisa lebih adil, transparan, dan realistis. Royalti itu perlu, tapi jangan sampai niat mulia itu malah membuat panggung musik lokal jadi sepi. Jangan sampai kita sibuk bicara tentang menghargai musisi, tapi lupa cara memanusiakan mereka (***) 

×
Berita Terbaru Update