![]() |
Ilustrasi |
Mang Midun sedang menata kerupuk di warungnya yang berada persis di bawah pohon beringin tua. Udara siang agak panas, tapi pohon itu memberi teduh yang lumayan. Dari jauh, Jek Pakis datang sambil menuntun motornya yang mogok—katanya sih “lagi istirahat”, tapi kelihatan lebih seperti “lagi putus asa”. Mak Irah muncul dengan keranjang belanja separuh penuh, langsung duduk di bangku kayu di depan warung.
“Eh, kalian dengar berita nggak?” tanya Mak Irah sambil mengibaskan kipas dari kertas bekas. “Katanya nyanyi lagu Indonesia Raya nanti harus bayar royalti.” Mang Midun nyaris menjatuhkan toples gula. “Lho, kita nyanyi buat upacara aja disuruh bayar? Kalau begitu, besok pas 17 Agustus kita nyanyi sambil iuran?”
Jek Pakis ikut nimbrung sambil mengelap peluh. “Kalau gitu, tiap hari Senin di sekolah juga bayar dong? Kasihan tuh anak-anak, belum punya uang saku malah dipalak lagu kebangsaan. Eh… royalti maksudnya.” Dia terkekeh, tapi matanya jelas serius. “Bayangkan, orang nyanyi dari hati malah dianggap utang.”
Mang Midun mulai berimajinasi. “Kalau begitu, kita bikin lagu kebangsaan tandingan aja. Judulnya ‘Indonesia Gratis’! Baitnya nggak panjang-panjang, biar gampang dihafal dan nggak ada yang nagih duit.” Mak Irah langsung menepuk lutut. “Iya, nanti kalau ada acara RT, kita nyanyi lagu itu saja. Murah, meriah, tanpa cicilan.”
Di bawah pohon beringin itu, mereka bertiga jadi sibuk berdebat. Ada yang usul bikin konser amal untuk bayar royalti upacara, ada yang mau patungan beli “paket nyanyi seumur hidup”. Tapi ujung-ujungnya, mereka tertawa bareng, sadar kalau ini semua terlalu absurd. “Lagu kebangsaan itu kan milik semua rakyat,” kata Mak Irah, “masa nyanyi harus nyicil?”
Akhirnya, sore itu mereka sepakat satu hal: kalau memang harus bayar, ya bayar saja… dengan rasa bangga, semangat, dan cinta tanah air. Soalnya, kata Mang Midun, “Kalau semangat sudah gratis, siapa yang mau pasang tarif?” (***)