Notification

×

Iklan

Iklan

Kue Engkok, Kuliner Angka Delapan yang Sarat Filosofi di Banyuasin

Minggu, 10 Agustus 2025 | 15.07.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-10T10:01:05Z
Juedeh Engkok Banyuasin

BANYUASIN POS – Di tengah perkembangan kuliner modern yang kian beragam, Kabupaten Banyuasin tetap memiliki kebanggaan tersendiri pada warisan kuliner tradisionalnya. Salah satunya adalah kue engkok, atau yang juga dikenal sebagai juedeh engkok. Bentuknya yang menyerupai angka delapan membuatnya mudah dikenali, namun di balik tampilannya yang sederhana, tersimpan makna filosofis dan nilai budaya yang mendalam.


Kue engkok tak hanya menjadi hidangan penutup yang manis dan gurih, tetapi juga bagian dari simbol adat, terutama dalam rangkaian acara pernikahan masyarakat Banyuasin. Sajian ini dipercaya membawa doa-doa baik, mulai dari keberuntungan, kelanggengan rumah tangga, hingga keharmonisan hidup berumah tangga. Bahkan, kue ini sering dihadirkan dalam jumlah banyak sebagai lambang kelimpahan rezeki.

Ilustrasi 

Budayawan Banyuasin, M. Irwan P. Ratu Bangsawan, menegaskan bahwa kue engkok adalah salah satu contoh nyata kearifan lokal yang masih bertahan di tengah arus globalisasi. “Bentuk angka delapan itu bukan kebetulan. Ia melambangkan doa tak terputus untuk keberuntungan dan keharmonisan,” ujarnya saat diwawancarai Banyuasin Pos.

Ilustrasi 

Irwan menjelaskan, tradisi ini juga mendapat pengaruh dari makna angka delapan dalam budaya Tionghoa, yang identik dengan keberuntungan dan kelimpahan. Dalam pernikahan, kue engkok menjadi penanda doa agar pasangan baru dapat menjalani kehidupan rumah tangga yang kuat dan sejahtera.


Menurutnya, pembuatan kue engkok bukan hanya soal rasa, tetapi juga wadah mempererat kebersamaan. “Biasanya ibu-ibu di kampung berkumpul, mengolah adonan, membentuk angka delapan sambil bercengkerama. Momen ini memperkuat ikatan sosial,” tuturnya.


Bahan-bahan yang digunakan pun sederhana: gandum, santan kepala, telur, mentega atau margarin, gula pasir, dan minyak sayur. Adonan dibentuk menyerupai angka delapan, digoreng hingga kuning kecoklatan, lalu diberi sentuhan manis dari gula putih leleh. “Membentuk angka delapan itu butuh kesabaran. Kalau terburu-buru, hasilnya tidak rapi,” kata Irwan sambil tersenyum.


Lebih dari sekadar makanan, Irwan melihat kue engkok sebagai simbol pandangan hidup masyarakat Banyuasin. Bentuknya yang melingkar tanpa ujung menggambarkan kesinambungan generasi dan keharmonisan hubungan manusia dengan alam. “Kita bukan hanya makan kue, tapi juga menyerap nilai-nilai budaya,” jelasnya.


Selain hadir di pernikahan, kue engkok juga mewarnai berbagai upacara adat dan perayaan keluarga. Tidak jarang wisatawan mencari kue ini sebagai oleh-oleh khas Banyuasin. “Banyak tamu dari luar daerah yang terkesan, apalagi setelah tahu maknanya,” ujar Irwan.


Irwan yang juga dikenal sebagai pencipta lagu daerah Banyuasin menilai, kuliner tradisional dan seni budaya sebaiknya saling mendukung dalam memperkuat identitas daerah. “Musik dan kuliner sama-sama bisa jadi duta budaya. Keduanya harus dijaga,” tegasnya.


Menutup perbincangan, ia berharap kue engkok terus hadir di tengah masyarakat Banyuasin sebagai simbol doa, kebersamaan, dan penghormatan kepada warisan leluhur. “Kue ini bukan sekadar makanan. Ia bagian dari jiwa Banyuasin,” pungkasnya (***) 

×
Berita Terbaru Update