![]() |
Menteri Komdigi Meutya Hafidz |
Banyuasin Pos — Wacana Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk mengkaji pembelian layanan internet premium bagi pengguna yang ingin mengakses fitur panggilan suara dan video seperti WhatsApp Call, Skype, Zoom, dan Google Meet menuai kritik keras dari publik.
Dalam unggahan akun Instagram @pontianakkeras.id, Komdigi disebut tengah mendiskusikan skema kontribusi dari layanan Over The Top (OTT) seperti WhatsApp yang dinilai membebani jaringan infrastruktur operator seluler tanpa memberikan kontribusi finansial secara langsung.
Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Komdigi, Denny Setiawan, menjelaskan bahwa diskusi ini masih dalam tahap awal dan bertujuan mencari titik temu antara kebutuhan masyarakat akan layanan komunikasi yang murah dengan beban investasi operator seluler.
“Operator seluler membangun kapasitas besar, tapi tidak mendapat kontribusi apa pun dari layanan OTT, sementara layanan seperti video call dan streaming butuh bandwidth tinggi,” ujar Denny.
Namun, pernyataan tersebut justru memantik reaksi keras dari warganet. Ribuan komentar membanjiri unggahan, sebagian besar berisi kekecewaan hingga sindiran tajam terhadap pemerintah. Beberapa pengguna menyebut kebijakan ini tidak pro-rakyat, bahkan ada yang menyamakan kondisi saat ini dengan masa penjajahan.
Komentar dengan nada sarkastik juga bermunculan, seperti usulan agar Indonesia "dibeli" oleh negara lain atau warga disarankan kembali ke era merpati pos demi menghindari pajak. Salah satu komentar populer berbunyi, “Dulu dijajah Belanda, sekarang dijajah bangsa sendiri.”
Sejumlah warganet juga menyoroti bahwa masyarakat selama ini telah berkontribusi melalui pembelian kuota internet, yang sayangnya sering hangus sebelum habis digunakan. Mereka menilai wacana internet premium justru akan semakin menyulitkan rakyat yang sudah terbebani dengan biaya hidup tinggi.
Hingga berita ini diturunkan, Komdigi belum memberikan pernyataan lanjutan, namun polemik ini menunjukkan pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam setiap kebijakan digital yang menyangkut hajat hidup orang banyak (***)