![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pimred Banyuasin Pos
Hidup di zaman sekarang ini aneh. Seorang bapak yang dulu gubernur, hari ini harus masuk laboratorium, bukan untuk riset pembangunan, tapi untuk membuktikan bahwa dirinya bukan bapak dari seorang bocah. Bayangkan, betapa sibuknya dunia ini sampai-sampai hubungan darah pun harus diputuskan oleh mesin dan tabung reaksi.
Di sisi lain, ada seorang ibu yang berani menaruh harapan besar pada hasil tes DNA. Ia yakin anaknya lahir dari rahimnya dengan satu kebenaran, lalu sains diminta jadi saksi. Dan sains, seperti biasa, dingin dan tegas: “Non identik.” Tidak ada drama, tidak ada air mata, tidak ada kata-kata puitis. Hanya dua kata itu, yang bisa meruntuhkan gunung keyakinan.
Kita sebagai penonton langsung bertepuk tangan: “Nah, benar kan?” atau “Loh, kok bisa?” Padahal kita cuma menikmati lakon, seperti menonton sinetron sore. Bedanya, ini bukan FTV, ini nyata. Ada nama baik yang dipertaruhkan, ada anak kecil yang mungkin kelak akan membaca berita dan bertanya: “Kalau bukan dia, lalu siapa bapakku?”
Ridwan Kamil boleh lega, karena uji DNA membersihkan tuduhan. Tapi hidup ini kadang tidak sesederhana hasil lab. Sebab ada luka yang tidak bisa ditempeli plester, ada rasa malu yang tidak bisa dihapus penghapus papan tulis. Dan terutama: ada seorang anak yang tidak pernah meminta untuk dijadikan headline.
Kita ini memang bangsa yang doyan gosip. Baru satu rumor berembus, sudah heboh di grup WhatsApp RT. Sering kali kita lupa, bahwa yang sedang jadi bahan obrolan adalah manusia juga—dengan rasa sakit, gelisah, dan mungkin segudang doa tengah malam yang tidak pernah kita dengar. Kita lihat mereka dari layar kaca, padahal mereka sedang terjebak dalam labirin hidup yang bisa saja lebih pelik daripada hidup kita sendiri.
Mungkin dari kisah ini kita bisa belajar: tidak semua masalah bisa dituntaskan dengan kertas hasil tes DNA. Ada wilayah yang hanya bisa diselesaikan dengan kebesaran hati, dengan memaafkan, dengan menutup pintu gosip yang tidak perlu. Kalau tidak, kita hanya akan terus jadi bangsa yang hobi mencari kepastian, tapi lupa bagaimana caranya menemukan kedamaian (***)