![]() |
Ilustrasi Betangas |
Asap tipis mengepul dari periuk besar berisi rebusan rempah. Serai wangi, cengkeh, daun pandan, kunyit, dan kulit jeruk purut menari di dalam air mendidih, melepaskan aroma yang tajam sekaligus menenangkan. Di ruangan itu, calon pengantin duduk tenang, tubuhnya diselimuti uap hangat, dan seluruh badannya tertutup tikar pandan yang menahan panas sekaligus menjaga kesopanan. Inilah betangas, tradisi tua Orang Melayu Banyuasin yang telah hidup ratusan tahun, sebuah ritual yang tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga merawat jiwa.
Bagi masyarakat Banyuasin, betangas adalah lebih dari sekadar mandi uap. Ia adalah persiapan menuju gerbang kehidupan baru. Seorang calon pengantin diyakini harus tampil sebersih embun pagi, seharum dedaunan yang baru dipetik, agar hari pernikahan tidak hanya indah dipandang, tetapi juga membawa keberkahan. Setiap tetes uap yang menyentuh kulit seolah membawa pesan: bersiaplah, sebab pernikahan bukan sekadar pesta, melainkan perjalanan panjang yang dimulai dengan kesucian diri.
Namun betangas tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu lahir dari kebersamaan. Tikar pandan digelar, tepak bara dinyalakan, periuk berisi air panas penuh rempah disiapkan. Semua berlangsung dengan cermat, dipandu oleh orang tua atau sesepuh yang dianggap menguasai tata cara. Sementara itu, keluarga dan kerabat berkumpul, ada yang membantu, ada yang bercengkerama, ada pula yang sekadar menonton dengan senyum di wajah. Betangas, pada akhirnya, bukan hanya tentang calon pengantin, tetapi juga tentang kehangatan keluarga yang mengelilinginya.
Seiring waktu, wajah betangas ikut berubah. Di perkotaan, sauna modern dan ratus mengambil alih peran. Lebih praktis, lebih mudah diakses. Betangas tradisional kian sulit ditemui, dan hanya segelintir orang yang masih setia menjaga tata cara lamanya. Namun bagi sebagian masyarakat Banyuasin, meninggalkan betangas ibarat meninggalkan sepotong identitas. Karena itu, meski perlahan bergeser, tradisi ini tetap bertahan, bagai bara kecil yang dijaga agar tak padam.
Di balik kesederhanaannya, betangas mengajarkan banyak hal. Ia menunjukkan bagaimana Orang Melayu Banyuasin menempatkan kebersihan sebagai bagian dari martabat, bagaimana kesopanan tubuh dan perilaku berjalan beriringan, dan bagaimana sebuah keluarga dikuatkan oleh ritual bersama. Betangas bukan hanya tentang harum tubuh calon pengantin, tetapi juga tentang wangi kebersamaan, yang tercium hingga ke sanubari masyarakatnya.
Tradisi ini adalah selembar cermin. Dari asap yang mengepul, dari rempah yang mendidih, dari tikar yang membungkus tubuh, kita bisa melihat nilai-nilai luhur yang tak lekang oleh zaman. Betangas adalah warisan yang tidak boleh hilang—sebuah persembahan budaya dari Orang Melayu Banyuasin untuk generasi yang akan datang, agar mereka tahu bahwa di balik modernitas, ada aroma tradisi yang tetap patut dirayakan (***)