Notification

×

Iklan

Iklan

Benarkah Guru Beban Negara?

Selasa, 19 Agustus 2025 | 08.39 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-20T10:42:17Z
Ilustrasi Guru Beban Negara 

Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pimred Banyuasin Pos

Pernyataan seorang Menteri Keuangan yang menyebut profesi guru sebagai beban negara (belakangan dinyatakan hoax) tentu saja membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. PGRI, organisasi profesi guru yang telah lama berdiri, langsung menyesalkan ucapan itu. Wajar saja, sebab di balik angka-angka anggaran yang sering dijadikan alasan, ada wajah-wajah penuh pengabdian para guru yang bertahan di ruang kelas sederhana, di sekolah pelosok, bahkan di dusun yang belum dialiri listrik.


Bayangkan, tanpa guru, mustahil sebuah bangsa bisa melahirkan dokter, insinyur, politisi, apalagi seorang menteri keuangan. Namun ironisnya, justru guru kerap dipandang dari sudut biaya, bukan dari sisi kontribusi. Padahal, jika dihitung secara jujur, nilai kerja mereka tidak akan pernah terbayar dengan nominal rupiah, karena mereka sedang menanam investasi jangka panjang: mencerdaskan generasi.


Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mencatat, pada 2022 ada lebih dari 700 ribu guru honorer, ditambah ratusan ribu Guru Tidak Tetap (GTT) baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Angka ini jelas menunjukkan betapa besar kebutuhan guru di negeri ini. Pemerintah kemudian mengangkat ratusan ribu guru honorer menjadi ASN PPPK hingga awal 2024, dengan target satu juta guru. Tetapi, apa artinya sekadar status jika mentalitas negara masih melihat mereka sebagai “beban”?


Yang sebetulnya menjadi beban negara bukanlah guru, melainkan ketidakseriusan dalam mengelola sumber daya manusia. Guru bukan beban, mereka adalah modal. Justru tanpa mereka, negara akan benar-benar lumpuh. Tidak ada tenaga kerja terdidik, tidak ada inovasi, bahkan tidak ada yang bisa menghitung defisit anggaran karena akuntan dan ekonom pun tak pernah lahir.


Memang, jumlah guru ASN PPPK kini mendominasi secara nasional, sekitar 770 ribu orang. Tetapi alih-alih dianggap beban, jumlah itu seharusnya menjadi kabar baik: semakin banyak anak didik yang akan terlayani dengan tenaga pengajar yang lebih sejahtera. Jika kualitas pendidikan membaik, maka produktivitas bangsa pun meningkat. Itu investasi, bukan kerugian.


Jadi, benarkah guru beban negara? Rasanya yang membebani adalah cara pandang yang keliru. Guru selalu menyalakan lilin di tengah gelapnya kebodohan, bahkan saat lilin itu hampir habis. Kalau masih ada yang menyebut mereka beban, mungkin sudah waktunya kita bertanya balik: siapa sebenarnya yang paling membebani negara? Guru, atau mereka yang gagal menghargai pengabdian guru? (***) 

×
Berita Terbaru Update