![]() |
Ilustrasi |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pimred Banyuasin Pos
Di tengah riuh perpolitikan nasional, dua istilah klasik dari ranah hukum kembali jadi buah bibir: amnesti dan abolisi. Keduanya bukan sekadar kosa kata dalam buku undang-undang, tapi kini kembali mengisi ruang sidang DPR RI setelah Presiden Prabowo mengusulkan pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong. Nama-nama yang tentu tak asing di telinga publik, terutama yang gemar mengikuti dinamika politik ibu kota.
Amnesti diberikan kepada seseorang untuk menghapus hukuman atas perbuatan pidana yang bersifat politis, meskipun sudah divonis, seperti dalam kasus Hasto yang terkait pusaran Harun Masiku. Sedangkan abolisi adalah penghentian proses hukum, bahkan sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, seperti halnya perkara Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi gula. Dua jalur pengampunan yang sama-sama langsung dari tangan Presiden, namun dengan rute hukum yang berbeda.
Publik menyambut dengan campur aduk. Ada yang menyebut ini bagian dari politik rekonsiliasi demi stabilitas nasional, menjelang perayaan besar kemerdekaan ke‑80 Republik Indonesia. Ada pula yang sinis, menyebut ini hanyalah bentuk penghentian kasus atas nama kekuasaan. Apalagi, kedua tokoh tersebut punya sejarah panjang dalam percaturan politik elite.
Yang membuat banyak orang mengernyit, DPR tampak mulus menyetujui dua surat Presiden tersebut. Tak banyak perdebatan, tak ada drama. Surat bernomor B-42 dan B-43 ditandatangani, ketok palu dilakukan, dan Indonesia kembali menambahkan dua nama dalam daftar penerima pengampunan negara. Mungkin benar ini demi persatuan, atau mungkin hanya bagian dari konsolidasi kekuasaan.
Di sisi lain, kita tak bisa mengabaikan perasaan ketidakadilan yang mengendap di benak rakyat kecil. Mereka yang harus berurusan dengan hukum karena mencuri ayam atau melanggar aturan lalu lintas, tak punya jalan pintas semacam ini. Amnesti dan abolisi, meski legal, sering kali terasa jauh dari jangkauan rakyat biasa.
Penggunaan wewenang presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi seharusnya menjadi simbol keadilan yang bijak, bukan sekadar alat politik. Sebab bila hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka yang dirugikan bukan cuma rasa keadilan, tetapi juga kepercayaan terhadap negara. Antara amnesti dan abolisi, yang paling dibutuhkan rakyat sebenarnya hanyalah keadilan yang merata dan tak pandang bulu (***)