Ngobrol Ringan Kaum Marjinal

Ilustrasi 

Di bawah pohon jengkol tua di pinggir kampung, suara tawa kadang terdengar lepas. Bukan tawa politisi yang baru menang, apalagi tawa pejabat yang habis potong pita peresmian. Itu tawa Mang Midun, Jek Pakis, dan Mak Irah—tiga warga yang saban hari jadi langganan becandaan nasib. Mereka menyebut diri sebagai “kaum marjinal”, walau tak pernah benar-benar paham arti katanya. Yang mereka tahu, hidup itu cuma dua pilihan: bertahan atau ketawa.

Topik obrolan mereka tak jauh-jauh dari harga cabai, listrik prabayar, dan gosip RT yang baru beli motor kredit. Kadang nyambung ke urusan besar, seperti “kenapa orang kaya makin kaya dan orang kecil makin sabar?” Tapi seperti biasa, tak ada yang betul-betul serius. Mereka tahu, jadi serius cuma bikin kepala cenat-cenut, sementara minyak angin makin mahal.

“Negara ini kayak keluarga besar,” kata Mak Irah suatu sore, “yang satu makan rendang, yang lain disuruh sabar nunggu sayur rebus.” Kalimat itu langsung disambut tawa keras dari Jek Pakis, yang baru saja gagal daftar bantuan sosial karena KTP-nya katanya "perlu update wajah". Seolah wajahnya sudah tak dikenali sistem negara. Untunglah mereka masih punya humor—modal utama bertahan selain utang di warung.

Meski hidup pas-pasan, mereka tak merasa kalah. Mereka hanya heran kenapa yang di atas sering sibuk bicara tentang “keadilan sosial” sambil duduk di ruang ber-AC, sementara mereka yang di bawah harus menghibur diri dengan televisi rusak dan kopi sachet. Tapi tak apa. Kata Mang Midun, hidup ini seperti main gaple—kadang dapat balak kosong, kadang beruntung buka dua enam.

Obrolan mereka tak pernah sampai jadi keputusan penting. Tak ada notulen, tak ada polling. Tapi dari warung kopi itulah, suara-suara kecil muncul. Suara yang mungkin tak pernah sampai ke meja parlemen, tapi sangat nyata bagi mereka yang tiap hari harus pintar-pintar mengatur beras, bensin, dan senyum. Ngobrol ringan, tapi isinya sering lebih jujur daripada pidato resmi.

Mereka mungkin tak punya gelar akademik atau akun media sosial viral. Tapi mereka punya sesuatu yang langka: ketulusan menertawakan hidup tanpa rasa iri. Dan dari mereka, kita belajar satu hal: bahwa kaum marjinal bukan berarti lemah—kadang, mereka justru yang paling kuat, karena tahu cara bertahan tanpa harus berteriak (Mang Marji) .

Langsung jadi yang terdepan dengan mengikuti berita dan artikel pilihan setiap hari di genggamanmu! Gabung sekarang ke WhatsApp Channel Banyuasinpos.com—cukup klik https://whatsapp.com/channel/0029VbBHumrCnA7qJz2aaw2O, Rasakan sensasi dapat kabar tercepat—kapan saja, di mana saja! Jangan sampai ketinggalan, ayo join sekarang juga!