Notification

×

Iklan

Iklan

Memahami Fadli Zon dan Sejarah yang Ditulis Ulang

Jumat, 25 Juli 2025 | 20.31.00 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-25T13:31:08Z


Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan 

Sejarah, kata orang bijak, adalah milik para pemenang. Tapi di republik ini, sejarah adalah milik siapa pun yang kebetulan sedang duduk di kursi empuk kekuasaan—dan punya anggaran cukup besar untuk menyewa 112 sejarawan, lengkap dengan editor, layouter, dan tentu saja, pengarah spiritual bernama ‘narasi resmi’. Masuklah Fadli Zon, kini menjelma sebagai Menteri Kebudayaan sekaligus kurator masa lalu, penata ulang masa kini, dan penyunting masa depan.

Fadli dengan penuh wibawa menyatakan bahwa ia “tidak tahu secara rinci isi bukunya”. Ini mungkin pernyataan paling jujur dalam sejarah penulisan ulang sejarah. Sebab seperti diketahui, untuk menulis ulang sejarah Indonesia dari era Kerajaan Kutai sampai era Jokowi dalam 10 jilid tebal, yang dibutuhkan bukan pengetahuan sejarah—melainkan keberanian. Keberanian untuk menulis ulang segalanya sambil pura-pura netral. Dan siapa yang lebih cocok dari Fadli, tokoh yang pernah bersuara nyaring tentang sejarah "versi yang salah" sambil memproduksi narasi-narasi alternatif di media sosial?

Tentu saja, proyek ini katanya bebas intervensi. Tidak ada campur tangan kementerian, katanya, sambil menyilangkan jari di belakang punggung. Sebab sejarah yang baik memang harus murni dan steril—dari kebenaran yang tidak nyaman. Jangan sampai pembaca muda tahu bahwa sejarah penuh perdebatan, konflik, dan tafsir; lebih baik sajikan versi ringkas, rapi, penuh optimisme dan slogan pembangunan lima tahunan.

Lucunya, Fadli menegaskan bahwa hanya sejarawan yang boleh menulis sejarah. Tentu ini wajar. Tidak mungkin dong, sejarah ditulis oleh rakyat, oleh korban, atau oleh mereka yang tidak sempat menyelesaikan disertasinya karena diculik. Mereka kan tidak paham historiografi. Apalagi tukang kayu—bayangkan jika ada tukang kayu menulis sejarah tentang pembantaian 1965? Bisa kacau! Biarlah sejarah tetap ditulis oleh mereka yang tenang di menara gading, jauh dari aroma keringat dan darah masa lalu.

Buku ini nantinya akan jadi "fondasi kesadaran kebangsaan", katanya. Fondasi yang disemen dengan ketidakpastian dan dibungkus plastik "objektivitas" yang bisa dibentuk sesuai kebutuhan rezim. Bahkan jika nanti ada halaman yang agak kontroversial, tenang saja—itu bisa diedit di cetakan kedua. Sejarah yang fleksibel adalah sejarah yang hidup, bukan?

Akhir kata, mari kita sambut 5.500 halaman versi terbaru sejarah Indonesia. Mungkin tidak sepenuhnya akurat, mungkin tidak sepenuhnya jujur, tapi pasti... sepenuhnya disponsori. Sejarah bukan lagi tentang apa yang terjadi, tapi tentang apa yang ingin diceritakan. Dan selama Fadli ada di kursi pengarah, jangan khawatir: masa lalu kita aman—di tangan para ahli, dengan panduan resmi, dan tentu saja, penuh dedikasi untuk membentuk memori kolektif yang mudah diatur. Selamat membaca!

 
×
Berita Terbaru Update