Pada 2 Mei 2025, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi meluncurkan program kontroversial yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer selama enam bulan. Program ini, bekerja sama dengan TNI, bertujuan membentuk karakter siswa yang sulit dibina, terlibat pergaulan bebas, atau melakukan tindakan kriminal. Dengan kegiatan seperti disiplin militer, olahraga, seni, dan pengembangan bakat, Dedi berharap siswa dapat kembali ke jati diri mereka sebagai remaja yang bertanggung jawab. Namun, inisiatif ini memicu pro dan kontra, dengan kritik dari organisasi hak asasi manusia dan ahli pendidikan yang mempertanyakan efektivitas dan etika pendekatan ini.
Program ini dirancang dengan melibatkan sekolah dan orang tua dalam proses seleksi siswa. Sebanyak 30-40 barak disiapkan untuk menampung peserta, dengan pendanaan dari pemerintah provinsi dan kabupaten. Menurut Dedi, lingkungan militer yang terstruktur akan membantu siswa belajar disiplin, nilai nasionalisme, dan kebersamaan. Kegiatan seperti olahraga dan seni menunjukkan upaya holistik untuk tidak hanya menanamkan disiplin, tetapi juga mengembangkan potensi siswa secara menyeluruh.
Namun, banyak pihak menilai program ini keliru. Imparsial, sebuah organisasi hak asasi manusia, mendesak penghentian rencana ini karena berpotensi melanggar hak siswa dan memperkuat budaya kekerasan dalam pendidikan. Lingkungan militer yang keras dikhawatirkan dapat menyebabkan trauma psikologis, terutama bagi siswa dengan masalah emosional atau sosial. Selain itu, pendekatan militer dianggap tidak memenuhi kebutuhan individual siswa, yang sering kali membutuhkan konseling psikologis daripada pelatihan ala tentara.
Anggota DPR, Bonnie Triyana, juga mengkritik pendekatan ini, menyatakan bahwa tidak semua masalah remaja harus diselesaikan dengan cara militer. Ia menilai program ini sebagai solusi instan yang mengabaikan akar masalah, seperti faktor keluarga atau lingkungan sosial. Pendapat serupa disampaikan oleh Khairul Fahmi dari ISESS, yang menekankan pentingnya pendekatan pedagogis dan pendampingan untuk menangani siswa bermasalah, bukan pendekatan koersif yang bersifat “one-size-fits-all”.
Meskipun demikian, TNI menyambut baik ide Dedi Mulyadi dan menyatakan kesiapan untuk membina siswa. Mereka menegaskan bahwa program ini akan fokus pada pembentukan karakter dan penguatan nilai-nilai nasionalisme. Dukungan ini menunjukkan bahwa program tersebut memiliki potensi untuk memberikan lingkungan yang terkontrol, yang dapat menjauhkan siswa dari pengaruh negatif seperti geng motor atau aktivitas kriminal.
Dampaknya Terhadap Siswa
Dari sisi positif, program ini dapat memberikan dampak baik bagi siswa dalam hal pembentukan disiplin dan tanggung jawab. Lingkungan barak yang terstruktur dapat membantu siswa memahami pentingnya aturan dan kerja sama tim. Kegiatan seperti olahraga dan seni juga berpotensi meningkatkan kepercayaan diri dan membantu siswa menemukan minat baru, yang dapat menjadi fondasi untuk perubahan perilaku positif.
Namun, dampak negatifnya tidak bisa diabaikan. Menghentikan pendidikan formal selama enam bulan berisiko mengganggu perkembangan akademik siswa, yang dapat menyulitkan mereka untuk mengejar ketertinggalan setelah kembali ke sekolah. Selain itu, lingkungan militer yang otoriter dapat memicu trauma psikologis, terutama bagi siswa yang memiliki masalah emosional atau riwayat trauma. Risiko penyalahgunaan kekuasaan, seperti kekerasan fisik atau tekanan berlebihan, juga menjadi kek hawatiran jika tidak ada pengawasan ketat.
Studi tentang program serupa, seperti boot camp di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa perubahan perilaku yang dihasilkan sering kali hanya bersifat jangka pendek. Tanpa dukungan lanjutan, seperti konseling atau reintegrasi yang baik ke lingkungan sekolah, siswa cenderung kembali ke pola perilaku lama. Hal ini menunjukkan bahwa program ini mungkin tidak efektif dalam jangka panjang tanpa pendekatan yang lebih komprehensif.
Selain itu, pendekatan militer dapat memperkuat stigma negatif terhadap siswa bermasalah, membuat mereka merasa dikucilkan atau dihukum. Alih-alih membangun rasa percaya diri, program ini bisa menimbulkan rasa malu atau ketidaknyamanan, yang justru memperburuk masalah perilaku mereka. Pendekatan yang lebih inklusif, seperti konseling kelompok atau program pengembangan diri berbasis komunitas, mungkin lebih efektif untuk membantu siswa merasa diterima dan didukung.
Untuk meminimalkan dampak negatif, program ini perlu disempurnakan. Integrasi konseling psikologis, akses pendidikan formal melalui kelas jarak jauh, dan pengawasan independen dapat memastikan bahwa hak siswa terlindungi. Kolaborasi dengan ahli pendidikan dan psikolog juga penting untuk menyesuaikan pendekatan dengan kebutuhan individu siswa, sehingga program ini tidak hanya berfokus pada disiplin, tetapi juga pada perkembangan holistik.
Secara keseluruhan, meskipun niat Dedi Mulyadi untuk membentuk karakter siswa patut diapresiasi, pendekatan militer ini memiliki kelemahan yang signifikan. Dengan menimbang aspek positif dan negatif, jelas bahwa program ini perlu direvisi untuk menjadi lebih manusiawi dan efektif. Pendekatan yang menggabungkan disiplin, pendidikan, dan dukungan psikologis akan lebih tepat untuk membantu siswa bermasalah menemukan jalan yang lebih baik tanpa mengorbankan hak atau masa depan mereka.