Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Di antara dinding tebal kekuasaan dan tirai halus dinamika politik tingkat tinggi, berdirilah seorang wakil presiden yang masih terlihat seperti alumni baru ospek istana: Gibran Rakabuming Raka. Anak muda yang dulu dijual ke publik sebagai “simbol regenerasi,” “wajah baru politik,” dan tentu saja, “bonus dari garis keturunan,” kini lebih sering terlihat membagikan telur dan beras di pasar daripada membahas geopolitik atau strategi fiskal. Mungkin karena di mata elite, tugas utama wapres adalah menjaga stok konten Instagramable untuk memperlihatkan “kedekatan dengan rakyat.”
Sementara Presiden Prabowo mengatur manuver strategis, membahas pertahanan nasional, dan bertemu tokoh-tokoh dunia, Gibran... ya, Gibran bertemu dengan ibu-ibu penjual sayur di pasar tradisional. Ia menyapa rakyat, memegang keranjang, dan melontarkan lelucon khas Solo yang lebih sering membuat awak media bingung daripada tertawa. Jika kekuasaan adalah panggung teater, maka Gibran jelas sedang memerankan figuran yang diberi dialog dua baris—cukup untuk muncul di berita, tapi tidak cukup untuk ikut dalam keputusan.
Tentu, publik bertanya-tanya: apakah Gibran bahagia? Menjadi wapres termuda, namun sekaligus yang paling tidak diketahui wewenangnya. Barangkali saat rapat kabinet berlangsung, Gibran hanya ditugaskan menjaga sirkulasi udara dengan membuka jendela. Atau mencatat siapa yang absen. Sesekali diberi tugas penting: “Mas Gibran, tolong carikan kopi yang tidak terlalu pahit untuk tamu asing.” Diplomasi tingkat barista.
Mungkin ini semua bagian dari pelatihan. Seperti magang politik, di mana Gibran harus mulai dari bawah—sangat bawah—sebelum nanti diberi peran yang lebih serius seperti meninjau pembangunan taman kota atau memantau jumlah telur di warung. Dalam sistem istana, ada hierarki tak tertulis: yang muda menyapa rakyat, yang tua menyapa para jenderal dan pemodal. Semua sudah ada porsinya, dan Gibran tampaknya masih kebagian porsi snack box.
Namun jangan salah: meskipun tak dilibatkan dalam urusan kenegaraan besar seperti pertahanan atau ekonomi, Gibran tetap punya fungsi strategis. Ia menjaga ilusi “kebaruan” dalam politik lama. Ia simbol bahwa “anak muda juga bisa”—meski hanya bisa mengangguk saat rapat, atau menunggu dijemput mobil dinas untuk safari media sosial. Ia penting bukan karena perannya, tapi karena dia adalah anak Jokowi. Sebuah kehadiran yang tidak mengubah arah politik, tapi cukup mengubah algoritma TikTok.
Akhirnya, Gibran dalam dinamika politik istana adalah seperti tanaman hias: segar, muda, menarik untuk difoto, tapi tidak ikut menyusun denah taman. Ia hadir agar tampak seimbang, agar ada warna lain di antara abu-abu politik senior. Dan siapa tahu, setelah cukup lama diajak keliling pasar, dia akan terbiasa dengan aroma kekuasaan dan suatu hari bisa belajar menjadi penjual janji profesional seperti para pendahulunya (***)