Omongan Ferry langsung rame dihujat, banyak yang bilang logika dia lompat atau ngaco.
 |
| Foto: Instagram Ferry Irwandi |
Oleh: Pebriyan Arisca Pratama
Bayangin, lagi asik scroll, tiba-tiba muncul Ferry Irwandi—founder Malaka Project—dengan hot take: “Filsafat udah nggak relevan, mending dihapus aja!” Banyak yang histeris, ada yang pengen swipe left, ada juga yang diem-diem penasaran kayak ngeliat match misterius. Tapi, serius, statement ini bukan sekadar cari sensasi; ada dinamika filsafat serius tapi dibungkus gaya kayak lagi battle standup.
Dekonstruksi, Filsafat, dan Logika Gepeng
Nih, kita masuk ke mode deep talk. Ferry kayak lagi nge-pasang cheat code Derrida: dekonstruksi. Derrida, filsuf Prancis jenius itu, ngajarin kita buat nggak percaya sama yang namanya struktur tetap (grand narrative). Hidup katanya penuh “perbedaan makna” (différance), jadi semua klaim mutlak wajib dicurigai, kayak caption IG mantan yang mendadak positif vibes.
Dekonstruksi itu pesennya biar kita nggak gampang puas, selalu siap mempertanyakan, bahkan “merusak” struktur argumen lama agar ada ruang lahirnya pemikiran baru. Ferry Irwandi, dengan gaya flamboyan, sebenarnya lagi praktik “destruksi performatif”—memancing publik untuk nggak sekadar komplain, tapi juga eksplor makna dan fungsi filsafat dalam dunia yang serba clickbait.
Analisis Filsafat: Dari Pragmatika Hingga Epistemologi
Statement Ferry juga ‘nyolek’ dua konsep klasik: pragmatika (Charles Sanders Peirce, William James) dan epistemologi (teori pengetahuan). Ferry menuntut filsafat jangan terlalu “teoretis,” harus narik manfaat konkrit kayak paham pragmatisme yang apa-apa harus jelas outcomenya. Tapi kalau filsafat cuma ngejar kemanfaatan praktis, kita bisa kejebak utilitarianisme dangkal—lupa bahwa tugas filsafat itu menantang, bukan cuma memanjakan kebutuhan zaman.
Di sisi epistemologi, “dihidupkan kembali” pentingnya berpikir kritis dan evaluasi sumber pengetahuan. Ferry, lewat Malaka Project, kayak install ulang firmware mindset Indonesia supaya nggak mudah kena hoaks. Filsafat jadi semacam “bot verifikasi” buat pikiran: filter sebelum percaya.
Pemantik Otak Era Chaos
Istilah “pemantik otak” jadi bintang utama. Kenapa? Karena filsafat bukan lagi sekadar sumbu pendek (yang rawan meledak, kayak debat pecinta kopi susu vs. kopi hitam), tapi jadi ignition system: memulai, menjaga, dan mengarahkan spark berpikir di tengah dunia yang serba noise.
Ferry menonjolkan aspek “performativitas” filsafat—bukan cuma mengajari konsep, tapi mengubah cara berpikir. Teori speech-act (J.L. Austin) misalnya, menyoroti bagaimana bahasa bisa “menghasilkan” realitas. Nah, Ferry dengan argumentasi destruktifnya justru lagi ngasih peran performatif ke filsafat: bukan menunggu dimengerti, tapi aktif menciptakan realitas diskusi di ruang publik.
Swipe Up Bro! Jangan Auto-Left!
Akhirnya, diskusi ramai ini bikin filsafat makin seksi—bukan karena drama, tapi karena makin “relate” ke kehidupan nyata. Ferry Irwandi, Derrida, bahkan Peirce, Austin—semuanya mendemonstrasikan satu hal: filsafat hidup kalau terus dikritisi, diperdebatkan, dan relevan. Jadi, kalau ada yang bilang filsafat mati, boleh aja ketawa dulu. Siapa tau, justru dengan provokasi kayak Ferry, filsafat bisa jadi “Tinder intelektual”—selalu siap ngajak swipe-right diskusi, bukan auto-left baper!
Filsafat itu spark plug-nya zaman—pemantik otak yang bikin hidup dan pikiran selalu on. Jangan takut dekonstruksi, karena di sana letak serunya: main logika, debat, dan kadang, bikin otak kita semerah notif love IG!.(***)
Langsung jadi yang terdepan dengan mengikuti berita dan artikel pilihan setiap hari di genggamanmu! Gabung sekarang ke WhatsApp Channel Banyuasinpos.com—cukup klik https://whatsapp.com/channel/0029VbBHumrCnA7qJz2aaw2O, Rasakan sensasi dapat kabar tercepat—kapan saja, di mana saja! Jangan sampai ketinggalan, ayo join sekarang juga!
