 |
| Erick Thohir |
Oleh: M. Irwan P. Ratu Bangsawan
Pemimpin Redaksi Banyuasin Pos
Nasib Erick Thohir kini ibarat wayang yang masih berdiri di panggung, tapi benangnya sudah diputus. Saat menjabat Menteri BUMN, kuasanya dipreteli, dipindahkan ke Danantara. Ia hanya jadi tukang bubuh tanda tangan, stempel legalitas bagi keputusan yang bukan ia rumuskan. Apa arti jabatan menteri kalau sekadar jadi penjaga pintu yang kuncinya sudah dipegang orang lain?
Kini ia dipindahkan ke kursi Menpora, kursi yang bagi sebagian orang tampak gagah, tapi justru penuh jebakan. Bukankah ia masih Ketua Umum PSSI? FIFA jelas melarang rangkap jabatan. Erick seperti pemain bola yang disuruh jadi striker sekaligus wasit dalam satu pertandingan. Mau menendang bola pun serba ragu, karena setiap gerakannya bisa dianggap pelanggaran.
Banyak orang membaca ini bukan sekadar mutasi, melainkan strategi. Prabowo Subianto tentu bukan orang baru di peta kekuasaan. Menaruh Erick di Menpora bisa jadi bagian dari upaya meredam pengaruh Jokowi di kabinet. Sebab kita semua tahu, Erick adalah proksi Jokowi, bagian dari Geng Solo yang dulu begitu dominan. Dan dalam politik, proksi lawan jarang diberi ruang untuk berkembang.
Maka, betapa merananya Erick hari ini. Ia tetap punya jabatan, tetap tampil di televisi, tetap disebut dalam berita, tapi kuasanya terpangkas, langkahnya dibatasi. Senyumnya di depan kamera lebih terasa sebagai topeng ketimbang tanda percaya diri. Dari BUMN yang diambil kendalinya, hingga Menpora yang dipenuhi tanda tanya, ia tampak hanya bertahan karena tak punya pilihan.
Nasib Erick Thohir adalah gambaran bagaimana politik bisa mengangkat sekaligus mempermainkan. Hari ini kau dianggap aset, besok kau diparkir jadi pajangan. Rakyat tentu tidak terlalu peduli siapa yang duduk di kursi mana. Yang mereka lihat sederhana saja: seorang tokoh besar bisa juga tampak kecil ketika kuasa sejatinya telah berpindah tangan (***)
